
Rasanya nk post je artikel ni......cepat je like kalau bab minang2 ni he2...dalam kehidupan kita seharian bukanlah setiap perkara itu indah, kerana setiap apa yang kita mahukan atau kita harapkan tidak semestinya akan jadi milik kita....dan kita sebagai insan yang lemah ini masih tidak dapat membezakan di antara mana orang yang kita sukai atau orang yang kita cintai....sebab itu dalam pemilihan calon amat dititik beratkan bagi menjamin rumah tangga yang bahagia.....tp adakah semudah itu, tapi kita ini sebagai insan hanyalah menyerah pada takdir-Nya jika yang ditetapkan itu sememangnya adalah jodoh kita maka kita perlu trima.....Pilihlah di antara orang yang kamu cintai atau orang yang mencintaimu....
-------------------------------------------------------------
“Bila seorang laki-laki yang kamu ridhai agama
dan akhlaqnya datang meminang,” kata Rasulullah mengandaikan sebuah kejadian
sebagaimana dinukil Imam At Tirmidzi, “Maka, nikahkanlah dia.” Rasulullah
memaksudkan perkataannya tentang lelaki shalih yang datang meminang putri
seseorang.
“Apabila
engkau tidak menikahkannya,” lanjut beliau tentang pinangan lelaki shalih itu,
“Niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.”
Di sini
Rasulullah mengabarkan sebuah ancaman atau konsekuensi jika pinangan lelaki
shalih itu ditolak oleh pihak yang dipinang. Ancamannya disebutkan secara umum
berupa fitnah di muka bumi dan meluasnya kerusakan. Bisa jadi perkataan
Rasulullah ini menjadi hal yang sangat berat bagi para orang tua dan
putri-putri mereka, terlebih lagi jika ancaman jika tidak menurutinya adalah
fitnah dan kerusakan yang meluas di muka bumi.
Kita
boleh mengira-gira jenis kerosakan apa yang akan muncul jika seseorang yang
berniat melamar seseorang kerana mempertahankan kesucian dirinya dan dihalang-
halangi serta dipersulit urusan pernikahannya. Inilah salah satu jenis kerosakan
yang banyak terjadi di dunia modern ini, meskipun banyak di antara mereka tidak
meminang siapapun.
Mari
kita belajar tentang pinangan lelaki shalih dari kisah cinta sahabat Rasulullah
dari Persia, Salman Al Farisi. Dalam Jalan Cinta, Salim A Fillah mengisahkan
romansa cintanya. Salman Al Farisi, lelaki Persia yang baru bebas dari
perbudakan fisik dan perbudakan konsepsi hidup itu ternyata mencintai salah
seorang muslimah shalihah dari Madinah.
Ditemuinya
saudara seimannya dari Madinah, Abud Darda’, untuk melamarkan sang perempuan
untuknya.
“Saya,”
katanya dengan aksen Madinah memperkenalkan diri pada pihak perempuan, “Adalah
Abud Darda’.”
“Dan
ini,” ujarnya seraya memperkenalkan si pelamar, “Adalah saudara saya, Salman Al
Farisi.” Yang diperkenalkan tetap membisu.
Jantungnya
berdebar. “Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan
Islam dengan
amal dan jihadnya.
Dia
memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah, sampai-sampai beliau
menyebutnya sebagai ahli bait-nya.
Saya
datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk
dipersuntingnya,” tutur Abud Darda’ dengan fasih dan terang.
“Adalah
kehormatan bagi kami,” jawab tuan rumah atas pinangan Salman, ”Menerima Anda
berdua, sahabat Rasulullah yang mulia.
Dan
adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rasulullah
yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada putri
kami.”
Yang
dipinang pun ternyata berada di sebalik tabir ruang itu. Sang putri shalihah
menanti dengan debaran hati yang tak pasti. ”
Maafkan
kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang
bicara mewakili putrinya. ”
Tapi,
karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah, saya
menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman.” Ah, romansa cinta Salman
memang jadi indah di titik ini.
Sebuah
penolakan pinangan oleh orang yang dicintainya, tapi tidak mencintainya. Salman
harus membenturkan dirinya dengan sebuah hukum cinta yang lain, keserasaan.
Inilah yang tidak dimiliki antara Salman dan perempuan itu.
Rasa itu
hanya satu arah saja, bukan sepasang. Salman ditolak. Padahal dia adalah lelaki
shalih. Lelaki yang menurut Ali bin Abi Thalib adalah sosok perbendaharaan ilmu
lama dan baru, serta lautan yang tak pernah kering. Ia memang dari Persia, tapi
‘’Rasulullah
berkata tentangnya, “Salman Al Farisi dari keluarga kami, ahlul bait.”
Lelaki
yang bertekad kuat untuk membebaskan dirinya dari perbudakan dengan menebus
diri seharga 300 tunas pohon kurma dan 40 uqiyah emas.
Lelaki
yang dengan kecerdasan pikirnya mengusulkan strategi perang parit dalam Perang
Ahzab dan berhasil dimenangkan Islam dengan gemilang.
Lelaki
yang di kemudian hari dengan penuh amanah melaksanakan tugas dinasnya di
Mada’in dengan mengendarai seekor keledai, sendirian.
Lelaki
yang pernah menolak pembangunan rumah dinas baginya, kecuali sekadar saja.
Lelaki
yang saking sederhana dalam jabatannya pernah dikira kuli panggul di wilayahnya
sendiri. Lelaki yang di ujung sekaratnya merasa terlalu kaya, padahal di
rumahnya tidak ada seberapa pun perkakas yang berharga.
Lelaki
shalih ini, Salman Al Farisi, ditolak pinangannya oleh perempuan yang
dicintanya. Salman ditolak.
Alasannya
ternyata sederhana saja. Dengarlah. “Namun, jika Abud Darda’ kemudian juga
memiliki urusan yang sama, maka putri kami telah menyiapkan jawaban
mengiyakan,” kata si ibu perempuan itu melanjutkan perkataannya.
Anda
mengerti? Si perempuan shalihah itu menolak lelaki shalih peminangnya karena ia
mencintai lelaki yang lain. Ia mencintai si pengantar, Abud Darda’.
Cinta
adalah argumentasi yang shahih untuk menolak. Ada juga kisah cinta yang lain.
Abu Bakar Ash Shiddiq meminang Fathimah binti Muhammad kepada Rasulullah. Ia
ingin mempererat kekerabatannya dengan Sang Rasul dengan pinangan itu. Saat itu
usia Fathimah menjelang delapan belas tahun. Ia menjadi perempuan yang tumbuh
sempurna dan menjadi idaman para lelaki yang ingin menikah. Keluhuran budi,
kemuliaan akhlaq, kehormatan keturunan, dan keshalihahan jiwa menjadi penarik
yang sangat kuat.
“Saya
mohon kepadamu,” kata Abu Bakar kepada Rasulullah sebagaimana dikisahkan Anas
dalam Fatimah Az Zahra,
“Sudilah
kiranya engkau menikahkan Fathimah denganku.” Dalam riwayat lain, Abu Bakar
melamar melalui putrinya sekaligus Ummul Mukminin Aisyah.
Mendapat
pinangan dari lelaki shalih itu, Rasulullah hanya terdiam dan berpaling.
“Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” kata beliau dalam riwayat lain. “Hai Abu
Bakar, tunggulah sampai ada keputusan,” kata Rasulullah. Yang terakhir ini
diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat.
Maksud
Rasulullah dengan menunggu keputusan adalah keputusan dari Allah atas kondisi
dan keadaan itu, apakah menerima pinangan itu atau tidak.
Ketika
Umar bin Khathab mendengar cerita ini dari Abu Bakar langsung, ia mengatakan,
“Hai Abu Bakar, beliau menolak pinanganmu.” Kemudian Umar mengambil kesempatan
itu. Ia mendatangi Rasulullah dan menyampaikan pinangannya untuk menikahi
Fathimah binti Muhammad. Tujuannya tidak terlalu berbeda dengan Abu Bakar.
Bahkan jawaban yang diberikan Rasulullah kepada Umar pun sama dengan jawaban
yang diberikan kepada Abu Bakar.
“Sesungguhnya,
Fathimah masih kecil,” ujar beliau. “Tunggulah sampai ada keputusan,” kata
Rasulullah. Ketika Abu Bakar mendengar cerita ini dari Umar bin Khathab
langsung, ia mengatakan, “Hai Umar, beliau menolak pinanganmu.” Kita bisa
membayangkan itu? Dua orang lelaki paling shalih di masa hidup Rasulullah pun
ditolak pinangannya.
Abu
Bakar adalah sahabat paling utama di antara seluruh sahabat yang ada.
Kepercayaannya kepada Islam dan kerasulan begitu murni, tanpa reverse ataupun
setitis keraguan. Karena itulah ia mendapat julukan Ash Shiddiq.
Ia
adalah lelaki yang disebutkan Al Qur’an sebagai pengiring jalan hijrah
Rasulullah di dalam gua.
Ia
adalah dai yang banyak memasukkan para pembesar Mekah dalam pelukan Islam.
Ia
adalah pembebas budak-budak muslim yang senantiasa tertindas.
Ia
adalah lelaki yang menginfakkan seluruh hartanya untuk jihad, dan hanya
menyisakan Allah dan Rasul- Nya bagi seluruh keluarganya.
Ia
adalah orang yang ingin diangkat sebagai kekasih oleh Rasulullah.
Ia
adalah salah satu lelaki yang telah dijamin menginjakkan tumitnya di kesejukan
taman jannah.
Namun,
lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah. Sementara,
siapa tidak mengenal lelaki shalih lain bernama Umar bin Khathab.
Ia
adalah pembeda antara kebenaran dan kebathilan.
Ia dan Hamzah
lah yang telah mengangkat kemuliaan kaum muslimin di masa- masa awal
perkembangannya di Mekah.
Ia
lelaki yang seringkali firasatnya mendahului turunnya wahyu dan ayat-ayat ilahi
kepada Rasulullah.
Ia
adalah lelaki yang dengan keberaniannya menantang kaum musyrikin saat ia akan
berangkat hijrah, ia melambungkan nama Islam.
Ia
lelaki yang sangat mencintai keadilan dan menegakkannya tatkala ia menggantikan
posisi Rasulullah dan Abu Bakar di kemudian hari.
Ia pula
yang di kemudian hari membuka kunci-kunci dunia dan membebaskan negeri-negeri
untuk menerima cahaya Islam.
Namun,
lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah S.A.W.
Mari
kita simak kenapa pinangan dua lelaki shalih ini ditolak Rasulullah. Ketika
itu, Ali bin Abi Thalib datang menemui Rasulullah. Shahabat- shahabatnya dari
Anshar, keluarga, bahkan dalam sebuah riwayat termasuk pula dua lelaki shalih
terdahulu mendorongnya untuk datang meminang Fathimah binti Muhammad kepada
Rasulullah.
Ia
menemui Rasulullah dan memberi salam.
“Hai
anak Abu Thalib,” sapa Rasulullah pada Ali dengan nama kunyahnya, ”Ada perlu
apa?” Simaklah jawaban lugu yang disampaikan Ali kepada Rasulullah sebagaimana
dinukil Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat.
“Aku
terkenang pada Fathimah binti Rasulullah,” katanya lirih hampir tak terdengar.
Dengar
dan rasakan kepolosan dan kepasrahan dari setiap diksi yang terucap dari Ali
bin Abi Thalib itu. Kepolosan dan kepasrahan seorang pecinta akan cintanya yang
demikian lama. Ia menggunakan pilihan kata yang sangat lembut di dalam jiwa,
“Terkenang.”
Kata ini mewakili keterlamaan rasa dan gelora
yang terpendam, bertunas menembus langit-langit realita, transliterasi rasa.
“Ahlan
wa sahlan!” kata Rasulullah menyambut perkataan Ali.
Senyum
mengiringi rangkaian kata itu meluncur dari bibir mulia Rasulullah. Kita tidak
usah sebingung Ali memahami jawaban Rasulullah. Jawaban itu bermakna bahwa
pinangan Ali diterima oleh Rasulullah seperti yang dipahami rekan-rekan Ali.
Mari
kita biarkan Ali dengan kebahagiaan diterima pinangannya oleh Rasulullah. Mari
kita melihat dari perspektif yang lebih fokus untuk memahami penolakan pinangan
dua lelaki shalih sebelumnya dan penerimaan lelaki shalih yang ini. Kita boleh
punya pendapat tersendiri tentang masalah ini.
Ketika
Rasulullah menjelaskan alasan kepada Abu Bakar dan Umar berupa penolakan halus,
kita tidak bisa menerimanya secara letter lijk. Sebab bisa jadi itu adalah
bahasa kias yang digunakan Rasulullah.
Misalnya
ketika Rasulullah mengatakan bahwa Fathimah masih kecil, tentu saja ini tidak
bisa diterjemahkan sebagai kecil secara harfiah, sebab saat itu usia Fathimah
sudah hampir delapan belas tahun. Sebuah usia yang cukup matang untuk ukuran
masa itu dan bangsa Arab. Sementara Rasulullah sendiri berumah tangga dengan
Aisyah pada usia setengah usia Fathimah saat itu. Maka, kita harus memahami
kalimat penolakan itu sebagai bahasa kias.
Saat
Rasulullah meminta Abu Bakar dan Umar bin Khathab untuk menunggu keputusan, ini
juga diterjemahkan sebagai penolakan sebagaimana dipahami dua lelaki shalih
itu. Jadi, pernyataan Rasulullah itu bukan pernyataan untuk menggantung
pinangan, sebab jika pinangan itu digantung, tentu saja Umar dan Ali tidak
boleh meminang Fathimah. Pernyataan itu adalah sebuah penolakan halus. Atau
bisa jadi, saat itu
Rasulullah punya harapan lain bahwa Ali bin Abi Thalib akan
melamar Fathimah.
Beliau
tahu sebab sejak kecil Ali telah bersamanya dan banyak bergaul dengan Fathimah.
Interaksi yang lama dua muda mudi sangat potensial menumbuhkan tunas cinta dan
memekarkan kuncup jiwanya. Ini dibuktikan dari pernyataan Rasulullah untuk
meminta dua lelaki shalih itu menunggu keputusan Allah tentang pinangannya.
Jadi, dalam hal ini kemungkinan Rasulullah mengetahui bahwa putrinya dan Ali
telah saling mencintai. Sehingga Rasulullah pun punya harapan pada keduanya
untuk menikah.
Rasulullah
hanya sedang menunggu pinangan Ali. Di masa mendatang sejarah membuktikan
ketika Ali dan Fathimah sudah menikah, ia berkata kepada Ali, suaminya,
“Aku
pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda.”
Saya
yakin kita tahu siapa yang dimaksud oleh Fathimah. Ini perspektif saya. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan singkat Ali,
“Aku
terkenang pada Fathimah binti Rasulullah.”
Satu kalimat itu sudah mewakili apa yang
diinginkan Ali. Rasulullah sangat memahami ini. Beliau adalah seseorang yang
sangat peka akan apa-apa yang diinginkan orang lain dari dirinya. Beliau
memiliki empati terhadap orang lain dengan demikian kuat. Beliau memahami
bentuk sempurna keinginan seseorang seperti Ali dengan beberapa kata saja. Dan
jawaban Rasulullah pun menunjukkan hal yang serupa, “Ahlan wa sahlan!” Ungkapan
sambutan selamat datang atas sebuah penantian.
Jadi,
dengan perspektif ini, kita akan memahami bahwa lelaki shalih yang datang untuk
meminang bisa ditolak pinangannya, tanpa akan menimbulkan fitnah di muka bumi
ataupun kerusakan yang meluas.
Wanita
shalihah yang dipinang Salman Al Farisi telah menunjukkan kepada kita, bahwa ia
mencintai Abud Darda’ dan menolak pinangan lelaki shalih dari Persia itu.
Rasulullah
pun telah menunjukkan pada kita bahwa ia menolak pinangan dua lelaki tershalih
di masanya karena Fathimah mencintai lelaki shalih yang lain, Ali Bin Abu
Thalib.
Di sini,
kita belajar bahwa cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan
cinta adalah argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta
berada dalam singgasana pernikahan.
Mari
kita dengarkan sebuah kisah yang dikisahkan Ibnu Abbas dan diabadikan oleh Imam
Ibnu Majah. Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah.
“Wahai
Rasulullah,” kata lelaki itu,
“Seorang
anak yatim perempuan yang dalam tanggunganku telah dipinang dua orang lelaki,
ada yang kaya dan ada yang miskin.”
“Kami
lebih memilih lelaki kaya,” lanjutnya berkisah, “Tapi dia lebih memilih lelaki
yang miskin.”
Ia meminta pertimbangan kepada Rasulullah atas
sikap yang sebaiknya dilakukannya. “Kami,” jawab Rasulullah,
“Tidak
melihat sesuatu yang lebih baik dari pernikahan bagi dua orang yang saling
mencintai, lam nara lil mutahabbaini mitslan nikahi.”
Cinta
adalah argumentasi yang shahih untuk menolak. Di telinga dan jiwa lelaki ini,
perkataan Rasulullah itu laksana setitis embun di kegersangan hati. Menumbuhkan
tunas yang hampir mati diterpa badai kemarau dan panasnya bara api. Seakan-akan
Rasulullah mengatakannya khusus hanya untuk dirinya. Seakan-akan Rasulullah
mengingatkannya akan ikhtiar dan agar tiada sesal di kemudian hari.
“Cinta
itu,” kata Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Tahrirul Ma’rah fi ‘Ashrir
Risalah,
“Adalah
perasaan yang baik dengan kebaikan tujuan jika tujuannya adalah menikah.”
Artinya
yang satu menjadikan yang lainnya sebagai teman hidup dalam bingkai pernikahan.
Dengan maksud yang serupa,
Imam Al
Hakim mencatat bahwa Rasulullah bersabda tentang dua manusia yang saling
mencintai.
“Tidak
ada yang bisa dilihat (lebih indah) oleh orang- orang yang saling mencintai,”
kata Rasulullah, “Seperti halnya pernikahan.” Ya, tidak ada yang lebih indah.
Ini adalah perkataan Rasulullah. Dan lelaki ini meyakini bahwa perkataan beliau
adalah kebenaran. Karena bagi dua orang yang saling mencintai, memang tidak ada
yang lebih indah selain pernikahan. Karena cintalah yang menghapus fitnah di
muka bumi dan memperbaiki kerusakan yang meluas, insya Allah. Cinta adalah argumentasi
yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah argumentasi yang shahih untuk
mempermudah jalan bagi kedua pecinta berada dalam singgasana pernikahan.
Sumber.
''Semoga ianya bermanfaat"